Jumat, 18 November 2016

nalar



 http://widiyanto.com/merawat-nalar-bangsa/



Revolusi mental digagas Joko Widodo (Kompas, 10/5/2014) dengan premis bahwa selama 16 tahun menjalankan reformasi kita hanya mencapai kemajuan sebatas kelembagaan. Ekonomi semakin berkembang dan masyarakat banyak yang bertambah makmur, tetapi kenapa masyarakat kita malah bertambah galau, bukannya bertambah bahagia?
Menurut Jokowi, pembangunan kita belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik dari manusia yang menjalankan sistem sehingga nation building tak mengantarkan Indonesia pada cita-citanya. Agar perubahan benar-benar bermakna, berkesinambungan, dan sesuai cita-cita Proklamasi Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur, kita perlu melakukan revolusi mental.
Jalan tol nir-jalan pikiran
Meski demikian, selama pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) berlangsung, kita menyaksikan kesenjangan antara proposisi yang dinyatakan dan agenda yang dijalankan. Pemerintahan ini tampak lebih getol membangun tol daripada membangun jalan pikiran bangsa. Padahal, jalan pikiran merupakan isi mental utama yang menghubungkan kita dengan  masa depan yang dicitakan dan karenanya perlu lebih dahulu dirawat.
Kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya yang jadi cita-cita pemerintah merupakan masalah dan bermula dari jalan pikiran atau mindset bangsa. Kebangkitan bangsa-bangsa maju pada umumnya dimulai dari upaya memelihara nalarnya sehingga berkhidmat terhadap akal sehat. Kehidupan dan kemajuan duniawi tampaknya tersusun atas hukum-hukum yang rasional dan akan berkembang hanya jika dipahami dan dijalani sesuai dengan hukum tersebut.
Mengutamakan pembangunan fisik sembari seadanya mengembangkan jiwa dan pikiran, selain tak seirama dengan “Indonesia Raya”, juga melawan hukum nalar kemajuan.  Pembangunan seperti itu pada akhirnya hanya akan meneruskan siklus absurditas sisifus seperti selama ini: membangun untuk menyaksikan kejatuhan/kemerosotan.
Dengan revolusi mental sebagai gerakan nasional seperti dimaksud penggagasnya, seyogianya pemerintah memprioritaskan upaya pencerdasan kehidupan bangsa sebagai jalan membentuk pola pikir bangsa. Ironisnya, upaya pencerdasan bangsa melalui pendidikan dalam berbagai ranahnya dewasa ini masih diliputi berbagai masalah mendasar.
Orientasi pembelajaran yang dijalankan sebatas mengoptimalkan kemampuan berpikir tingkat rendah. Pikiran para murid setiap hari dijejali oleh beragam data pengetahuan yang-entah berguna atau tidak-dihafal dan diuji di kemudian hari. Sedikit sekali para pelajar dilibatkan dalam proses berpikir tingkat tinggi, seperti menalar, menganalisis, dan memecahkan masalah yang konon sebagai salah satu kecakapan utama yang dibutuhkan untuk hidup dan sukses di abad ke-21. Hasil Programme for International Student Assessment  (PISA) 2012 menunjukkan kuatnya kemampuan berpikir murid Indonesia pada tingkat rendah dan lemahnya kemampuan berpikir tingkat tinggi. Sementara negara maju, seperti Singapura dan Korea Selatan, menunjukkan kemampuan sebaliknya.
Berbekal kemampuan berpikir tingkat rendah, memasuki abad ke-21 dengan era globalisasinya yang penuh persaingan akan menjadikan bangsa ini seperti keledai yang tak memiliki kewibawaan, kemandirian, dan jati diri. Gejala itu mulai tampak dan terasa ketika berbagai kebijakan dan gerak budaya kita berorientasi kepada standar-standar “asing”, bahkan mungkin untuk kepentingan asing, dengan argumen “demi daya saing”.
Memberikan perhatian besar kepada bidang pendidikan selain  sebagai tanda pemerintah berpikir maju juga merupakan keharusan untuk penyelamatan bangsa. Berbagai problem pendidikan kita dewasa ini sudah sangat parah dan memerlukan Presiden turun tangan karena besaran dan substansinya telah melampaui kapasitas departemental atau kementerian. Jika kenyataan ini terus diabaikan , bukan saja akan berakibat pada  involusi  dalam dunia pendidikan, melainkan juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kembali ke pangkalan
Bangsa Indonesia dengan pendidikannya mengalami disorientasi di tengah pusaran arus perubahan yang demikian cepat. Program dan operasi pendidikan dewasa ini  seperti tersedot oleh pesona pragmatisme untuk bertarung dalam era globalisasi. Pendidikan makin jauh meninggalkan pangkalan,  menuju entah ke mana. Alhasil, bangsa yang cerdas seperti ditetapkan dengan  arif oleh para pendiri bangsa, setelah tujuh puluh tahun merdeka makin jauh panggang dari api.
Bangsa ini barangkali  kualat karena begitu lama tak merawat wasiat “mencerdaskan kehidupan bangsa” dan lebih menyibukkan diri pada pembangunan ekonomi. Padahal, kecerdasan merupakan substansi yang menentukan martabat kemanusiaan. Jika saja “mencerdaskan kehidupan bangsa” dicermati sejak dulu, kiranya bangsa ini tak jadi seperti ini: para murid kita tak hanya unggul pada kemampuan berpikir tingkat rendah, tetapi juga unggul pada penalaran tingkat tinggi.
Berpikir tingkat tinggi merupakan hakikat berpikir yang sesungguhnya karena membutuhkan seluruh potensi dan kemampuan kognisi. Pembedaan “tinggi-rendah” yang didasarkan pada taksonomi Benjamin Samuel Bloom (1913-1999) bukan dimaksudkan menunjukkan hierarki kepentingan, tetapi bertujuan mempermudah secara didaktik-metodik pembelajaran.  Berpikir tingkat rendah merupakan fondasi dan persyaratan untuk masuk dan menjalankan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Intinya, strategi pembelajaran haruslah mengarah kepada pencapaian kemampuan berpikir, bukan hanya mengisi pikiran.
Salah satu kelemahan utama pendidikan kita sejak dahulu adalah masalah metodologi yang dipergunakan para guru dalam pembelajaran. Untuk kesekian kalinya, terkait persoalan ini,  saya mengangkat hasil penelitian Prof CE Beeby (1987) yang menyatakan bahwa guru-guru menerangkan pelajaran dengan latar belakang pengetahuan dan keterampilan metodik yang minimal, terbatas pada buku teks yang dimilikinya. Andalan lain mungkin sisa-sisa ingatannya dari apa yang pernah dipelajarinya dulu di sekolah. Setelah menguraikan sesuatu masalah, guru menghabiskan bagian terbesar jam pelajarannya untuk mendiktekan atau menuliskan apa yang diajarkannya di papan tulis dan menunggu murid menyalinnya. Catatan itulah yang dipelajari murid dan menjadi bahan ulangan. Sedikit sekali sekolah di Indonesia membantu menumbuhkan potensi seorang murid, dan pengaruh sekolah yang menjemukan serta tak imajinatif tersebut tetap terasa ketika seseorang menjadi dewasa dan memimpin masyarakatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar