Jumat, 18 November 2016

Kala Teknologi Mengubah Keluarga


Sambil menyaksikan kekalahan Hillary Clinton, kali ini saya ingin membahas topik yang ringan-ringan saja. Mudah-mudahan Anda berkenan. Mari kita mulai.
Kadang saya tertawa geli menyaksikan kelakuan orang-orang yang begitu bersemangat menjalani gaya hidup baru seperti pada beberapa cerita ini. Seorang suami mendampingi istrinya yang tengah melahirkan. Ia ikut masuk ke ruang bersalin. Kalau dulu, dokter pasti melarang siapa pun masuk ke ruang bersalin. Sekarang tidak lagi. Suami boleh ikut masuk. Apa yang dilakukan sang suami? Dengan kameranya ia mengabadikan momen-momen bersejarah tersebut. Jadi ketika sang istri berjuang habis-habisan, sang suami habis-habisan sibuk mencari sudut pengambilan gambar. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
Lalu sang bayi pun lahir. Lagi sang suami sibuk merekam jabang bayi tersebut. Ia mencari momen terbaik, yakni tangisan pertama. Selesai? Belum. Setelah semua gambar ia dapatkan, sang suami masuk ke tahap berikutnya. Ia sibuk mengunggah penggalan videonya ke Youtube dan mengeposkan informasi soal istrinya yang melahirkan ke beberapa media sosial. Setelah mengunggah, baru ia menemui istrinya.
Apakah sang istri marah? Rupanya tidak juga. Ia malah bertanya, apakah suaminya berhasil mendapatkan gambar yang bagus? Apakah penggalan videonya sudah diunggah? Gila, bukan? Itu satu cerita. Saya tambahkan satu cerita lagi. Kali ini soal asisten rumah tangga—mungkin sebagian Anda lebih familier dengan istilah pembantu rumah tangga.
Apa yang dilakukan sang pembantu? Ketika bel pintu rumah berdentang, pembantu tadi keluar membukakan pintu. Rupanya ada tamu yang ingin bertemu dengan majikannya. Sang pembantu kemudian mempersilakan tamunya duduk. Lalu, di depan sang tamu, ia kemudian mengirimkan whatsapp (WA) ke majikannya, mengabarkan bahwa ada tamu yang sudah menunggu.
Bagaimana reaksi Anda terhadap ulah sang pembantu? WA tadi juga bukan yang pertama. Kali lain, ketika selesai memasak makan siang untuk majikannya, ia segera mengirimkan WA ke majikannya. Isinya, ”Bpk/ibu, mknn sdh siap. Slkn trn.” Kamar majikannya memang ada di lantai dua. Lantas muncul pula WA-WA lainnya.
Berani Kompromi 
Lewat dua cerita tadi saya sebetulnya ingin menggambarkan perubahan yang tengah terjadi di masyarakat. Perubahan yang kadang membuat kita tidak siap menghadapinya. Pertama, soal suami yang merekam detik-detik bersejarah ketika istrinya melahirkan. Dulu melahirkan adalah peristiwa yang sangat privat. Itu sebabnya dokter melarang siapa pun masuk ke ruang bersalin, kecuali pihak yang memang berkepentingan.
Kini teknologi membuat peristiwa tersebut bahkan diunggah ke ruang publik melalui media sosial. Lalu para dokter pun tak berdaya untuk melarang. Kalau dilarang, pasien akan pindah ke rumah bersalin sebelah. Maka mereka harus kompromi dengan perilaku pasien yang semakin narsis tersebut. Baiklah, kedua, soal asisten rumah tangga tadi. Siapkah kita menghadapi perilaku sang asisten rumah tanggata di yang memberikan informasi ke Anda via WA atau Line? Saya tidak yakin. Sebagian Anda mungkin menganggap perilaku itu kurang sopan.
Saya anjurkan, bersiaplah Anda menerima kenyataan tersebut. Anda dipaksa berkompromi dengan perilaku sang asisten rumah tangga tadi. Apalagi sekarang ini tak mudah untuk mendapatkan asisten rumah tangga yang gesit, jujur, dan loyal terlebih jika suami dan istri sama-sama bekerja. Kalau Anda bisa kompromi, saya yakin, ada banyak plus-minusnya. Sekarang coba bayangkan begini. Anda sedang menjamu tamu dan kehabisan topik untuk dibahas.
Semua terdiam sambil senyum-senyum. Lalu masuk Line dari asisten rumah tangga. Isinya pendek: Trump menang. Di bawahnya ada tautan berita tentang kemenangan Donald Trump dalam pemilu di AS. Wah, Anda jadi punya topik untuk dibahas, bukan? Lalu dari mana asisten rumah tangga Anda tahu soal pentingnya info tadi? Mungkin dia secara diam-diam menyimak acara TV yang suka Anda tonton dan meneruskannya ketika mendapatkan info soal kemenangan Donald Trump tersebut dari Line Today.
Jadi jangan remehkan asisten rumah tangga Anda. Media sosial bisa saja membuatnya jadi semakin pintar. Memang bisa juga sebaliknya kalau mereka dihasut para pemelintir yang makin merajalela belakangan ini. Lewat media sosial pula asisten rumah tangga mungkin jadi orang paling tahu soal gosip-gosip yang beredar di seputar kompleks perumahan Anda.
Sebab dia selalu bergunjing dengan sesama asisten rumah tangga lainnya. Sementara Anda sama sekali tidak punya waktu untuk ngobrol dengan tetangga sebelah rumah sekalipun. Bahkan mungkin Anda sama sekali tidak kenal dengan tetangga sebelah.
Sumbu Pendek 
Baiklah sekarang kita bahas isu lain. Anda pernah dengar ungkapan yang berbunyi ”teknologi mendekatkan yang jauh, tetapi sekaligus juga menjauhkan yang dekat”. Saya punya teman orang Batak. Dia dengan bangga bercerita soal grup WA dengan nama marganya. Melalui grup WA tersebut, dia bisa saling berbagi cerita dengan saudara-saudaranya di kampung halaman di Sumatera Utara.
Sekarang, meski dia berada di Jakarta, apa pun yang terjadi di kampungnya sana bisa langsung dia ketahui. Setiap kali menerima kabar di grup WA, hatinya langsung hangat. Tapi sebaliknya berkat smartphone pula kita bisa menemukan dengan mudah satu keluarga duduk mengelilingi meja makan di sebuah restoran papan atas di Jakarta, tetapi masing- masing berdiam diri dengan mata terus menatap layar gawainya. Bukan saling bicara.
Saya tak mau langsung menyimpulkan bahwa teknologi ternyata telah ”memecah belah” keluarga. Itu tudingan yang terlalu berat. Hanya kalau kita sama sekali tidak peduli dengan persoalan semacam ini, rasanya juga keliru. Apalagi belum lama berselang, kita sebagai keluarga besar Indonesia nyaris terpecah belah akibat informasi yang dipenggal- penggal.
Entah disengaja atau tidak. Celakanya sebagian bangsa kita tergolong ”bersumbu pendek” alias gampang meledak atau cepat marah. Maka informasi yang sepenggal itu langsung dia telan tanpa dikunyah.
Sejatinya kekuatan suatu negara, juga di Indonesia, ada di rumah-rumah tangganya. (Maaf, pastikan asisten rumah tangga Anda juga menjadi bagian dari keluarga.) Kalau setiap rumah tangga beres, dialognya lancar dan terbuka, hampir pasti keluarga tersebut tak bakal gampang dipecah belah. Sebaliknya kalau keluarga tersebut sibuk sendiri-sendiri, gosip kecil sekalipun bisa membuatnya meledak. Kita tentu tak mau memiliki rumah tangga yang seperti ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar